Jumat, 02 Agustus 2013

Siapakah sesamaku manusia (Lukas 10 : 25 – 37)



Ahli Taurat yang mencobai Yesus jelas memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai Firman Tuhan dan terutama hukum yang mencakup kewajiban dan hak manusia berdasarkan agama. Hal itu sangat nyata manakala Yesus kembali melontarkan pertanyaan mengenai hukum Taurat dengan spontan ahli Taurat itu menjawab mengenai hukum yang utama : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”(ay 27)

Rupanya ahli Taurat yang sangat handar dan mengandalkan pengetahuan mengenai hukum-hukum agama sangat tertohok dan mulai mencari jalan untuk menutupi kemunafikannya dan masih ingin mencobai Yesus, dengan mengajukan pertanyaan mengenai: “Siapakah sesamaku manusia?” Namun, pertanyaan ahli Taurat itu sekaligus dapat juga ditangkap sebagai pencerminan dari keberadaan dari ahli-ahli Taurat yang sangat tahu tetapi sekaligus juga sangat tidak memiliki kepedulian. Mereka menguasai hukum-hukum, tetapi sangat jauh dari jiwa keadilan dan solidaritas kemanusiaan. Mereka inilah yang disebut penganut agama formalistis tetapi kosong dalam substansi: Mengetahui luar dan dalam hukum-hukum, tetapi menjauhi nurani hukum itu sendiri.

Dalam situasi itulah Yesus menyodorkan cerita yang bisa saja pernah terjadi tetapi bisa juga sebagai cerita perumpamaan yang sangat mengena, terutama terhadap kemunafikan para ahli Taurat, Imam dan Lewi. Perlu diketahui bahwa dalam batin orang Yahudi, orang-orang Samaria adalah manusia yang tidak sederajat, yang tidak bisa disetarakan dengan kaum Yahudi. Orang-orang Samaria itu bagaikan budak-budak (bhs batak : Hatoban) yang tidak memiliki kehormatan, masyarakat kelas empat yang kehadirannya bukan saja dianggap tidak perlu, tetapi mengganggu keanggunan orang-orang Yahudi yang terhormat.

Di dalam dan melalui cerita itu, Yesus jelas-jelas menunjuk pada manusia sejati dan sesungguhnya, yang memperlihatkan kemanusiaannya pada saat yang tepat dan situasi yang membutuhkan. Imam yang lewat di jalan itu, bisa saja memberla diri bahwa ia sedang melaksanakan panggilannya, sehingga tidak sempat dan buru-buru: ada urusan yang lebih penting dari sekadar membantu orang yang terkapar itu. Demikian juga dengan orang Lewi dan memang keduanya menghindar dengan lewat dari seberang jalan (menentang arus lalulintas). Bisa saja dalam benak mereka akan ada orang lain yang lebih layak menolong. Mungkin sangat banyak alasan atau dalil yang dapat disusun untuk membenarkan tindakan imam dan Lewi itu untuk menghindar dan bahkan melewatinya melalui seberang jalan.

Orang Samaria yang dalam pandangan orang Yahudi adalah manusia hina dina datang, melihat dan langsung melakukan pertolongan. Tidak hanya sekedar menolong, tetapi mencurahkan kasihnya kepada korban perampokan itu. Kepada pembaca tidak dijelaskan siapa dan dari mana asal-usul korban. Jadi, Imam, Lewi dan orang Samaria itu tidak mengetahui siapa dan berasal dari mana korban itu. Kita dan ketiga orang itu hanya tahu, bahwa korban itu adalah manusia yang terkapar, tidak berdaya dan sangat membutuhkan pertolongan. Saat itu, nyawanya hanya tergantung pada orang-orang yang lewat dan yang sedia menolong.

Sikap dan tindakan orang Samaria itu sunggu menunjuk pada nilai dan inti jiwa keagamaan. Pertanyaannya bukan : siapa engkau? Apakah engkau seorang raja, pejabat, tokoh agama, tokoh intelektual, kaya raya atau bukan. Pertanyaan itu sama sekali tidak penting dalam kehidupan orang beragama yang benar atau manusia yang benar. Pertanyaan yang sanat penting adalah: Apa yang kau perbuat? Perbuatanmu itulah dirimu dan perbuatanmu itulah yang menunjukkan derajatmu. Imam dan orang Lewi yang statusnya sangat terhormat jelas bukan manusia berderajat karena perbuatannya. Orang Samaria yang dianggap hina itu adalah manusia utama yang sangat dan paling terhormat karena perbuatannya.

Tautan cerita itu dalam kehidupan beriman kita sangat jelas, kita sebagai orang Kristen harus menjadi sesama bagi tiap orang yang membutuhkan pertolongan. Kita adalah sesama orang-orang yang terkapar dan terbuang, baik oleh penindasan, pembodohan dan peminggiran (marginalisasi). Jenis yang seperti ini adalah perampokan yang dilakukan orang biasa maupun para pejabat dan penguasa. Kita adalah sesama orang-orang yang kesepian, yang teraniaya baik di dalam rumah tangga maupun yang dimasyarakat. Kita adalah sesama bagi korban-korban narkoba, penderita HIV/AIDS. Kita adalah sesama bagi korban keretakan rumah tangga dan masyarakat. Siapakah sesamaku manusia?
(Kebaktian Doa Sektor 1 dan 2 HKBP Bandung Reformanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar